Sering kita dengar, ajaran yang mengatakan agar menjauhi permusuhan, karena hanya akan mendatangkan kerugian bahkan malapetaka, sehingga orang yang tidak memiliki musuh akan merasa tenang tentram hidupnya.
Pada orang yang memiliki kebesaran jiwa dan kematangan berfikirnya telah mencapai level yang tinggi, dimana dia telah bisa meninggalkan segala hal yang bersifat duniawi, 100% ajaran ini bisa kita terima. Namun bagi kita yang baru saja bertolak menuju ke arah tersebut lewat jalan pembelajaran, maka ajaran ini menempatkan kita pada posisi yang memaksa kita menjadi malas berfikir dan bertindak, lantaran tidak adanya motivasi yang tersemat.
Berpikir Terbalik
Pelajaran Sejarah atau PSPB (Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa) yang didoktrinkan kepada siswa-siswi, mulai dari Sekolah Dasar, hingga ke jenjang pendidikan formal yang lebih tinggi tentang PKI, yang terkenal dengan G30S-PKI (Gerakan 30 September Partai Komunis Indonesia)? Karena tindakan tersebut, partai ini masuk dalam partai pengkhianat bangsa, partai yang berisi orang-orang kejam dan tidak mengenal Tuhan. Status pengkhianat melekat kuat di seluruh buku yang bertutur sejarah perjuangan bangsa Indonesia.
Akankah sama jika saat itu PKI dengan G30Snya berhasil menguasai pemerintahan dan memegang tampuk pimpinan? Tentu buku2 sejarah akan berkata lain. Sejarah akan berkata “PKI adalah partai terbaik, penyelamat bangsa, pahlawan Negara, bla.. bla.. blaa”
Partai lain yang ketika itu memiliki ajaran bertentangan dengan PKI sudah melihat jelas, bahwa partai beraliran komunis ini adalah sebuah ancaman, musuh yang perlu dibasmi, sehingga perlu dicarikan penyelesaian sebagai jalan keluar. Maka peristiwa G30S tersebut lantas dijadikan pemicu pemberantasan PKI hingga ke akarnya.
Kita patut bersyukur kepada Tuhan Y.M.E, karena partai ini berhasil dihapuskan oleh partai lain yang saat itu masih berjuang demi bangsa dan Negara, meski caranya tidak berbeda dengan partai yang “dihapuskan” (karena terjadi pembenaran dalam buku-buku sejarah bangsa Indonesia).
Ini membuktikan bahwa memiliki musuh tidaklah buruk. Memiliki musuh berarti ada lawan yang harus dikalahkan, ada rival yang mesti ditaklukkan. Memiliki musuh akan membuat kita berfikir mengenai teknik ataupun strategi apa yang akan dijalankan, kapan menyerang dan kapan bertahan. Memiliki musuh akan timbul harapan dan perjuangan untuk mencapai keberhasilan. Bukankah kalau mau hidup aman, kita harus siap untuk berperang? Sehingga tidak ada Negara lain yang berani mengambil pulau-pulau di wilayah Republik Indonesia, tidak ada yang berani mendikte tindakan yang diambil oleh Negara kita, menginjak-injak kehormatan bangsa. Hal ini hanya mungkin terjadi kalau Negara ini siap, siap berperang untuk mempertahankan keutuhan dan kedaulatan Negara. Kesiapan inipun hanya mungkin terjadi bila Negara ini memiliki musuh.
Memiliki musuh, tidak harus musuh nyata (kasat mata), dimana berperang dengannya akan ada tindakan penghilangan nyawa manusia. Sudah jadi kodrat manusia yang berkeTuhanan memiliki musuh, baik nyata atau maya. Setan melalui godaannya akan senantiasa menjadi musuh utama. Diri sendiri dengan hawa nafsu, amarah dan keinginan bertindak salah juga musuh yang juga harus ditaklukkan.
Bagaimana bisa enak menyaksikan pertandingan sepakbola, jika kedua kesebelasan tersebut berteman, sehingga tidak ada keinginan untuk menciptakan sebuah gol yang dapat menaklukkan lawannya. Apa yang kita banggakan dari sebuah prestasi di sekolah misalnya, jika muridnya Cuma 1 orang. Bagaimana bisa menjadi yang tercepat, terbaik, terindah, jika tidak ada memiliki musuh sebagai pembanding?
Jadi mari kita ciptakan musuh kita (bukan cari musuh), Jika Anda pemeluk agama yang taat, setanlah musuh Anda. Jika hawa nafsu dan keburukan hati selalu membisik di telinga anda, maka “diri anda”lah musuh itu. Jika Anda seorang Penulis Pemula atau baru saja akan memulai menjadi Penulis, maka Penulis Profesional/Kawakan adalah musuh Anda. Cari tahu kekuatan musuh Anda dan darimana Dia memperolehnya, pelajari hingga Anda memiliki kekuatan yang sama, lalu cari tahu kelemahan musuh Anda, kemudian jadikan kelemahan tersebut sebagai kekuatan Anda. Maka Anda akan benar-benar merasakan nikmatnya dapat mengalahkan musuh Anda. Keberhasilan hanya indah dirasakan bila kita menjalani prosesnya dari awal, bukan sebuah pemberian.
Jakarta, 21 Juni 2007
Mugi Subagyo